Longki Djanggola Gelar Penyerapan Aspirasi Masyarakat Terkait Pemenuhan Hak-hak Dasar Warga Negara
Longki Djanggola Gelar Penyerapan Aspirasi Masyarakat Terkait Pemenuhan Hak-hak Dasar Warga Negara
Palu – “Undang-Undang Dasar 1945 bukan sekadar dokumen, tapi fondasi moral dan hukum kita sebagai bangsa.” Kalimat itu dilontarkan Anggota Komisi II DPR RI, Drs. H. Longki Djanggola, M.Si, di hadapan 150 peserta yang memadati Gedung Pertemuan di Jalan Elang, Kota Palu, Jumat (25/4/2025). Namun, ia juga mengingatkan: konstitusi belum cukup kuat menembus realita.
“Kesenjangan antara norma konstitusional dan implementasi di lapangan masih menjadi tantangan nyata yang perlu kita jawab bersama,” – sebut Longki Djanggola.
Kegiatan bertajuk Penyerapan Aspirasi Masyarakat MPR RI dengan sub tema “Pemenuhan Hak Dasar Warga Negara menurut UUD NRI Tahun 1945” ini menjadi panggung bagi masyarakat dari Donggala, Palu, dan Sigi untuk mengangkat suara yang selama ini kerap tak terdengar.
“Masih banyak saudara-saudara kita yang belum sepenuhnya merasakan hak-hak dasar tersebut,” ujar Gubernur ke-10 Sulteng ini.
“Kita masih dihadapkan pada masalah pemerataan layanan publik, akses pendidikan, dan layanan kesehatan—khususnya di wilayah terpencil.”
Sebagai wakil rakyat dari Komisi II DPR RI, Longki menyampaikan komitmen tegas untuk mengawal kebijakan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat.
“Saya memiliki komitmen kuat untuk terus mendorong kebijakan yang berpihak pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat.”
Dalam forum itu, hadir pula Prof. Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH, pakar hukum tata negara dari Universitas Tadulako. Ia menekankan bahwa hak warga negara bukan karunia negara, melainkan jaminan konstitusional yang tak boleh ditawar.
“UUD 1945 menempatkan hak-hak itu dalam Bab X dan Bab XIII, sementara hak asasi manusia ada di Bavlb XA,” jelasnya.
“Pasal 27, misalnya, menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 31 memastikan pendidikan yang dibiayai oleh negara.”
Diskusi yang dipandu Tenaga Ahli Anggota DPR RI Jafar Bua ini, berkembang menjadi sesi yang hidup dan membumi, saat satu per satu warga menyampaikan unek-unek mereka.
Hermanto dari Wani, Donggala, mengeluhkan belum meratanya pemenuhan kebutuhan dasar. “Air bersih, listrik, dan rumah yang layak masih jadi mimpi bagi banyak keluarga di kampung kami,” ujarnya.
Ridwan dari Palu menyoroti lambannya proses sertifikasi tanah di wilayahnya. Ia menyebut pelayanan BPN Palu masih menyulitkan warga kecil. Longki pun langsung merespons:
“Sepanjang aduan itu punya data dan informasi yang valid, saya akan segera membicarakannya dengan Kantor Pertanahan Kota Palu.”
Keluhan serupa datang dari Sigi. Kamus, seorang warga desa, menyampaikan kondisi jalan yang rusak parah dan nyaris tak bisa dilalui. “Jalan itu urat nadi kami. Kalau hancur, ekonomi juga lumpuh,” katanya.
Forum ini bukan sekadar seremonial. Di ruang itu, konstitusi dihidupkan lewat suara rakyat yang selama ini hanya jadi angka dalam statistik. Diskusi pun ditutup dengan harapan besar: agar setiap keluhan yang terlontar tak berakhir di catatan, melainkan menjadi bahan bakar perubahan.
“Konstitusi harus turun dari menara gading. Ia harus hidup dalam setiap kebijakan, setiap tindakan, dan yang paling penting: dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia,” tutup Longki. ***
Posting Komentar